logo blog
Selamat Datang Di Info Blog
Terima kasih atas kesediaan anda berkunjung di Info Blog ini,
Semoga apa yang Info Blog share dan tulis di sini dapat bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang dapat berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Budi Luhur, Memayu Hayuning Bhawana dan Pendidikan Karakter

Budi luhur dalam Sastra Mistik Penghayat Kejawen (SMPK) terkait dengan konsep memayu hayuning bawana. Memayu hayuning bawana adalah sebuah pandangan hidup Jawa yang memuat nilai melestarikan, menjaga kedamaian, agar tercapai keselamatan dunia. Konsep ini merupakan wujud doktrin moralitas yang diekspresikan penulis SMPK untuk keperluan aktivitas penghayat. Moralitas penghayat kepercayaan menghendaki sebuah tatanan etik yang bersifat aksiologis. Artinya, kegunaan ungkapan itu dalam kerangka bingkai etika dari sebuah gagasan ideal.

Gagasan ideal penghayat adalah upaya agar kelak ketika meninggal (mulih mulamulanira) dapat mencapai manunggaling kawula-Gusti. Hal ini menandai bahwa budi luhur yang bersendikan memayu hayuning bawana akan mengantarkan manusia menuju sangkan paraning dumadi (menuju asal-usul hidup) dengan benar. Dari data SMPK yang dimiliki oleh penghayat kepercayaan, ternyata ada tiga hal pokok kandungan nilai budi luhur dan memayu hayuning bawana.

Wong Jawa Asli

Ketiga nilai ini sebenarnya merupakan manifestasi pendidikan karakter dalam kehidupan orang Jawa.

Pertama, budi luhur dan memayu hayuning bawana tetang hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Manusia memiliki kewajiban penting terhadap diri sendiri, agar hidupnya selamat. Hal ini terdapat pada kutipan di bawah ini, yang mengarahkan penghayat agar bertindak mulia di tengah-tengah masyarakat.

Kawruhana pituduh sayekti
Ngudi ing rat pangkat prakawula
Mangerti rugi bathine
Yekti pituduh luhur
Nugrahanta saking Hyang Widhi
Mrih manggya raharja
Iku budaya kang nyata
Sun pituduh yen arsa nambut kardi
Marma den waspadakna

(SMPK, Dhandhanggula, bait: 2)

Terjemahan:
ketahulah petunjuk utama
berusaha meningkatkan derajat dan pangkat
mengetahui untung dan rugi
ternyata petunjuk utama
akan mendapat anugerah Tuhan
agar mendapat kesejahteraan
itulah budaya yang nyata
kuberi petunjuk jika hendak bekerja
sebaiknya selalu berhati-hati.

Paling tidak, dari kidung itu terkandung pesan bila hendak meningkatkan derajat pangkat, perlu diingat untung ruginya. Derajat dan pangkat manusia adalah amanah. Derajat dan pangakat adalah anugerah Tuhan. Oleh sebab itu, agar lebih bermanfaat, perlu memperhatikan petunjuk leluhur, yaitu agar sebelum menjalankan tugas, penghayat bersikap waspada. Waspada adalah pendidikan karakter yang berupaya melatih diri selalu berhati-hati dalam bertindak. Kewaspadaan akan menumbuhkan hidup yang selamat. Lebih lanjut, pada kidung di bawah ini watak ingat (eling) selalu harus dipegang oleh penghayat.

Eling-eling wajib dipun eling
Marang angger-anggering bebrayan
Tan kena tininggalake
Lamun datan maelu
Bakal nampa kuciwa yekti
Prayoga lakonana
Udinen mrih runtut
Iku dadya marganira
Kasembadan mrih bisa tulus basuki
Bagya mulya slaminya

(SMPK, Dhandhanggula, bait: 3)

Terjemahan:
ketahuilah yang wajib diingat
bagimu jika hidup berkeluarga
tidak boleh ditinggalkan
jika tidak mengindahkan
akan mendapat kekecewaan
sebaiknya lakukanlah
upayakan agar runtut
itu menjadi wahanamu
tercapailah keselamatan
kebahagiaan selamanya

Pesan utama bait (3) adalah bagi orang yang menduduki derajat dan pangkat tertentu harus bertindak: (1) ingat pada kewajiban; (2) ingat pada aturan, jika tidak peduli akan kecewa akhirnya. Watak ingat (eling) termasuk nilai budi luhur dan memayu hayuning bawana, yang dapat menuntun ke arah hidup selamat. Termasuk watake eling adalah kemampuan mengikuti aturan. Jika hal ini dilakukan secara seksama dalam kehidupan akan menjadi jalan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan selama-lamanya. Dengan demikian, kewajiban hidup itu diperlukan aturan main, jika aturan itu perlu ditaati maka jalan hidupnya tidak keliru. Orang yang taat aturan tergolong berbuat ke arah memayu hayuning bawana. Dalam kaitan ini Mulder (2001:59) memberikan pengertian bahwa memayu hayuning bawana adalah norma ideal menuju kehidupan nyata. Hal ini secara rinci dapat dipahami lewat pada berikut.

Tumindaka alus sarwi aris,
Aywa kongsi gancang dadi pincang,
Kesusu lali temahe,
Rendhe-rendhe ya luput,
Waspadakna kanthi permati,
Pikir tinalar dawa,
Aja grusa grusu,
Dadya janma sabar drana,
Olah rasa ginulang saliraning batin,
Bisa mungkasi karya.

(SMPK, Dhandhanggula, bait: 7)

Terjemahan :
bertindaklah serba penuh pertimbangan
jangan sampai goncang akan rugi
tergesa-gesa akhirnya lupa
terlalu pelan juga keliru
waspadalah dengan cermat
pikirkan dengan nalar panjang
jangan tanpa perhitungan
jadilah manusia yang sabar
olah rasa diupayakan sampai batiniah
agar mampu menyelesaikan pekerjaan

Yang menarik, pada (bait : 7) di atas, watak dasar manusia yang utama adalah apabila mampu bertindak serba bersifat madya (tengah). Artinya, orang Jawa menghendaki bertindak harus alon-alon waton kelakon. Artinya, bertindak yang pelan-pelan cermat, waspada, adalah tindakan bijak karena penuh perhitungan. Sebaliknya, jika bertindak terlalu cepat acapkali kurang perhitungan. Akibatnya manusia bisa jatuh ke marabahaya.

Lebih dari orang yang bertindak tergesa-gesa biasanya mudah lupa. Oleh karena itu, kewaspadaan, memanfaatkan penalaran, tidak asal-asalan, bersikap sabar, dan seluruh hal dilakukan dengan olah rasa, maka seluruh hal akan terselesaikan dengan baik.

Kedua, budi luhur tentang hubungan antara manusia dan manusia. Hal ini dapat dicermati melalui puisi bermetrum Dhandhanggula sebagai berikut.

Marsudiya memanising jalmi
Manut ing reh wewarah utama
Amrih mantep grahitane
Subasita ywa kantun
Mring asepuh tansah ngajeni
Sumrambah mitra rowang
Rumaket nyedulur
Yen tumindak tepa awak
Ora nganti dahwen apa drengki srei
Cubriya sesongaran

(SMPK, dhandhanggula, bait: 8)

Terjemahan :
berupayalah jadi manusia yang manis
patuh pada perintah utama
agar paham terhadap isyarat
tatakrama jangan dilupakan
menghargai orang yang lebih tua
serta pada sahabat
rukun dengan saudara
bertindak dengan tepa selira
tidak cemburu dan sombong

Puisi tersebut berasal dari paguyuban penghayat Sapta Darma. Puisi ini sering digunakan sebagai syair pembuka ritual kolektif. Ritual dilaksanakan di Sanggar Sapta Rengga Surakarsan Yogyakarta. Sebelum ritual mulai, lantunan syair secara langsung oleh salah satu penghayat diperdengarkan. Ternyata, puisi pembuka itu memiliki nilai spiritual yang dalam. Budi luhur yang terkait dengan watak penghayat memayu hayuning bawana tercermin di dalamnya. Hal ini berarti lagu itu diformat untuk membuka batin dan mengingatkan penghayat agar dapat menjalankan perilaku sesuai dengan harapan Tuhan.

Inti dari lagu demikian memberikan arah agar penghayat bersikap dan bertindak mendahulukan orang lain. Berkaitan dengan hal ini, maka disarankan agar penghayat bertindak: (1) sopan santun atau unggah-ungguh harus dijaga baik-baik dalam hubungan sosial; (2) menghormati orang yang lebih tua; (3) menghargai sesama; (4) membina persaudaraan; (5) bertindak tepa salira; dan (6) dilarang banyak mencela, iri hati, tamak, dan sombong.

Pada dasarnya, ajaran ini merupakan tuntunan yang berupa anjuran dan larangan. Kedua hal ini merupakan bingkai etik penghayat agar bertindak berdasarkan budi luhur, yaitu akhlak yang terpuji. Jika hal ini dilakukan berarti seseorang mampu berbuat sesuai dengan dasar hati.

Hubungan sosial dalam keluarga, masyarakat, dan bernegara membutuhkan watak membuat lestari (memayu). Seluruh aktivitas yang dilandasi moralitas luhur akan mengarah pada tindakan karyenak tyasing sesama, artinya membuat pihak lain nyaman. Akan lebih jelas lagi beberapa aturan etik yang memuat pesan memayu hayuning bawana dapat dicermati pada kidung paguyuban Trisoka. Kidung ini ada beberapa metrum, namun yang secara hakiki menampilkan konsep termasud adalah metrum Sinom sebagai berikut.

Sun babar ing pawiyatan,
Tata carane ngupadi,
Gegayuhan urip ira,
Subur makmur lair batin,
Katon tentrem lestari,
Kasinungan budi luhur,
Asih marang sapadha,
Sepuh anem ageng alit,
Kinen ngemban drajat pangkating negara.

(SMPK, Sinom, bait: 1)

Terjemahan :
saya uraikan melalui ajaran
tatacara mengupayakan
cita-cita hidup
Subur makmur lahir dan batin
tampak tenteram dan selamat
memiliki budi luhur
belas kasihan terhadap sesama
tua muda dan besar kecil
agar melaksanakan kewajiban negara

Metrum Sinom tersebut berisi hal pembinaan budi luhur. Puisi bait tersebut memberikan pemahaman luas tentang budi luhur agar manusia berbelas kasihan terhadap sesama. Budi luhur ditandai oleh watak luhur, yaitu cinta kasih terhadap sesama, tidak membedakan umur, dan bersikap adil. Budi luhur akan menjadi modal penting bagi seseorang agar mencapai kemakmuran lahir batin. Ciri orang berbudi luhur demikian di era masa kini justru amat diperlukan. Tanda-tanda budi luhur yang dapat menghias dunia, sehingga tercapai keadaan dunia yang subur dan makmur lahir batin terlihat melalui puisi sebagai berikut.

Ngestokna dhawuhing bapa,
Guru nira kang sejati,
Cegah dhahar patlikur jam,
Kang asung paring wewarah,
Tuntunan urip sejati
Kapiji jroning galih
Karaos kanthi satuhu
Konjuk jroning nala
Winengku lantiping pikir.
Dadya wajib putra-putri nuswantara.

(SMPK, Sinom, bait: 2)

Terjemahan :
melaksanakan perintah bapak
dia adalah guru sejatimu
mencegah makan selama 24 jam
yang memberi ajaran
tuntunan hidup sejati
masukkan dalam hati
benar-benar rasakan
merasuk dalam hati
ditambah kecerdasan pikir
menjadi kewajiban orang nusantara

Jabaran budi luhur, khususnya yang terkait dengan memayu hayuning bawana memang cukup luas. Di antara bentuk budi luhur yang seharusnya diterapkan dalam hidup sehari-hari adalah setia pada orang tua. Puisi itu memberikan pemahaman bahwa orang tua adalah guru manusia yang sejati. Dalam tradisi Jawa, menurut Suryo (2011:15) pendidikan karakter senantiasa terkait dengan konsep pandangan dunia kosmis religio magis.

Dengan berbakti kepada orang tua, jelas merupakan wujud pendidikan karakter yang dapat membangun harmoni hidup, ketenteraman, dan kedamaian. Orang tua pasti menginginkan anaknya sukses dan tidak bertindak jelek. Orang tua yang menjadi lantaran hidup. Orang tua pula yang menunjukkan ke arah hidup sejati. Berarti jika manusia melanggar perintah
orang tua, akan tersasar hidupnya.

Ketiga, budi luhur tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Memayu hayuning bawana juga tidak hanya memuat hubungan manusia dengan sesama dan diri sendiri, melainkan terkait dengan Ketuhanan.Dalam konteks ini ada kidung penghayat Trisoka bait di bawah ini yang membuktikan praktik mistik yang dilandasi watak belas kasihan terhadap sesama. Belas kasihan merupakan dasar rasa Jawa yang dapat menolong sesama serta mampu meringankan beban orang lain. Itulah hakikat dari memayu hayuning bawana, bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia juga tidak bisa lepas dari tangan Tuhan. Jadi, hidup sesama juga perlu dilandasi Ketuhanan, seperti puisi berikut ini.

Gusti allah ya peparing ngelmi,
Marang janma kang nindakake tapa,
Siji tan ana bedane,
Jer suci trus manekung,
Tekat antep wani angudi,
Welas asih sapadha,
Eklas kang binangun,
Ngedohi angkara murka,
Ngilangana watak jail srei dhengki,
Dadya urip sampurna.

(SMPK, Dhandhanggula, bait: 10)

Terjemahan :
Tuhan yang memberikan ilmu
kepada manusia yang bertapa
pertama tak ada bedanya
asal suci terus bertapa
tekad mantap terus berupaya
belas kasihan terhadap sesama
membangun watak ikhlas
menjauhi angkara murka
menghilangan ingin menang sendiri
Jadilah hidup sempurna

Cukup jelas bahwa bait puisi tersebut adalah pancaran hidup bersama yang dijiwai sifat Tuhan. Hidup yang luhur seharusnya mau bersikap perihatin dengan jalan tapa. Dalam konsep kehidupan orang Jawa jelas dikenal dengan sebutan tapa ngrame, artinya menolong sesama tanpa pamrih. Tapa ngarame jelas merupakan penghargaan terhadap sesama. Hal ini semua perlu dilatih terus-menerus, dengan jalan menjauhi angkara murka. Dengan cara semacam ini, akan berkurang watak iri, ingin mencelakakan orang lain, bersikap tamak, dan sejenisnya. Watak yang tercela ini hanya akan menjadi kerikil hidup. Sebaliknya manakala manusia mampu menjauhi watak buruk itu hidup akan sempurna lahir batin.

KeTuhanan memang telah implisit pengertian budi luhur secara totalitas. Itulah sebabnya, memayu itu tidak bisa lepas dari sisi religiusitas. Memayu hayuning bawana, juga didasari prinsip kehidupan penghayat yang disebut sepi ing pamrih rame ing gawe, yakni keadaan dunia yang selamat, sejahtera, dan bahagia, manusia bekerja tidak lagi didorang oleh kepentinganku, tetapi sepenuhnya didorong oleh kepentingan bersama. Makna tersebut diwujudkan dalam sikap dan perilaku aktif berbuat kebaikan kepada siapapun dan apapun, termasuk di dalamnya membangun dan memelihara lingkungan hidup yang sehat, asri, indah, dan lestari, sehingga menjadi sumber daya alam yang selalu mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Sikap dan perilaku tersebut diterapkan dalam hubungan seseorang dengan dirinya, orang lain, dan masyarakat. Selain itu, ada petunjuk memayu hayuning bawana yang dapat dijadikan pegangan hidup terdiri dari lima hal sebagai berikut.

Sepisan tekate lega,
Loro antep jroning batin,
Katelu wani sembada,
Papat eklas jroning ati,
Lima resik sesuci,
Dadiya lekasing laku,
Nuli niyat amurba,
Anyenyadhang jroning kapti,
Manjing lampah wonten sanggar tapa brata.

(SMPK, Sinom, bait: 5)

Terjemahan :
pertama harus puas
kedua mantap dalam batin
ketiga dapat mewujudkan
keempat ikhlas dalam hati
kelima harus suci
itu jadi awal tindakan
lalu berniat sungguh-sungguh
memohon dalam hati
menjalankan tapa brata

Tanda-tanda orang berbudi luhur pada puisi itu menghendaki agar manusia selalu ingat hakikat hidup. Hidup sebenarnya atas pancaran cahaya Tuhan. Oleh sebab itu, manusia wajib bertindak yang berkiblat pada cahaya Tuhan. Untuk itu, disarankan agar manusia menjalankan lima hal, yaitu: (1) harus bertekad bisa menerima keadaan; (2) dalam hati mantap, artinya tidak mudah terombang-ambing situasi, jika memiliki keinginan baik dilaksanakan sebaik-baiknya; (3) hidup harus berani mewujudkan cita-citanya, tidak memalukan; (4) hidup ikhlas, tidak selalu mengejar hal-hal yang tidak semestinya; dan (5) hidup harus bersih dan suci. Kelima hal itu merupakan etika moral yang dapat mencetak manusia utama (manusia sejati). Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Suwito (2011:7) bahwa penanaman pendidikan karakter muaranya akan menuju ke keutamaan dan kebaikan. Manakala orang dapat melaksanakan lima hal itu, berarti manusia sebagai pribadi maupun sosial akan bermanfaat. Hidup menjadi semakin tenang.

Enter your email address to get update from Info Blog.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

Silahkan meninggalkan komentar yang sesuai dengan artikel di atas, komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog ini di masa-masa mendatang.
Mohon jangan melakukan spam, atau promosi produk atau apapun yang tergolong hal-hal negatif
Mohon maaf bilamana terjadi keterlambatan balasan komentar.

Copyright © 2015. Info Blog 97 - All Rights Reserved | Template Created by Info Blog Proudly powered by Blogger