logo blog
Selamat Datang Di Info Blog
Terima kasih atas kesediaan anda berkunjung di Info Blog ini,
Semoga apa yang Info Blog share dan tulis di sini dapat bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang dapat berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Hari-hari terakhir Bung Karno setelah terusir

Info Blog. "Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa yang namanya kekuasaan presiden sekalipun pasti ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan dari rakyat. Dan di atas segalanya merupakan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa." (Soekarno,1967). Mungkin ini merupakan sepenggal kalimat terakhir Bung Karno yang mengingatkan kita semua pada sebuah jabatan dunia yang tidak akan pernah langgeng.

Tidak lama setelah Mosi yang dibentuk oleh parlemen yang diketuai oleh Nasution pada tahun 1967 dan MPRS berhasil menunjuk Soeharto sebagai Presiden RI ke 2, lantas bung karno segera mendapatkan surat perintah yang dimana berisi harus segera meninggalkan Istana Negara dalam waktu 2 x 24 Jam.

Info Blog, Kehadiran Bung Karno di pernikahan Rachmawati

Salah satu Cerita kisah disaat terakhir Bung Karno setelah terusir dari Istana Negara sangat menyentuh hati yang ditulis oleh Peter Kasenda ini menceritakan bagaimana kekejaman yang diberikan kepada orang No. 1 di Indonesia pada kala itu, yakni Dr. Ir. H. Soekarno yang diperlakukan dengan tidak begitu terhomat dan terpuji. Berikut akan kita ceritakan kisah nyata dari Bung Karno.

Bung Karno kala itu memang disuruh harus cepat-cepat meninggalkan Istana Negara dengan tidak diberikan waktu berlama-lama untuk mengumpulkan barang-barang pribadinya. Wajah-wajah dari para tentara yang mengusir Bung Karno pun tampak sangat tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana Negara ini dalam waktu dua hari dari sekarang !".

Bung karno pergi ke ruang  makan dan melihat Guruh Sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu " kata Bung Karno. Guruh pun menoleh ke arah bapaknya dan berkata "Mereka sudah pergi kerumah Ibu".

Rumah Ibu yang dimaksud di sini adalah rumah dari Fatmawati yang bertempat di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno pun berkata lagi "Mas Guruh, bapak sudah tidak diperbolehkan lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu lekas persiapkan barang-barangmu, dan kamu jangan ambil lukisan atau hal lain, karena itu punya negara", ujar Bung Karno.


Bung Karno pun lantas berjalan ke arah ruang tamu Istana, di sana dia tampak mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang masih setia kepadanya. Ada juga beberapa ajudannya yang sudah tidak kelihatan karena ditangkap dan diduga ajudan dari Bung Karno tersebut terlibat dalam peristiwa Gestapu (G-30S/PKI). Dalam penyampaian Bung Karno kepada ajudannya yang masih setia di Istana dia mengatakan. "Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan menggambil apapun, lukisan-lukisan itu, souvenir dan macam-macam barang. Itu Milik Negara".

Lantas para ajudannya menangis dan merasa sedih mendengar perlakuaan yang diterapkan kepada Bung Karno saat tau dia harus pergi. "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan... ?" Salah satu ajudan separuh berteriak keras memprotes tindakan diam yang dilakukan oleh Bung Karno.

Bung Karno pun menjelaskan hal tersebut kepada ajudannya, "Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti bisa terjadi perang saudara, perang saudara itu sulit, jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu. Keluarganya juga sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada Bangsa saya harus perang saudara", tegas Bung Karno kepada ajudannya.

Tiba-tiba beberapa orang yang bekerja di bagian dapur Istana ketika mendengar Bung Karno akan meninggalkan Istana langsung keluar, " Pak kami memang tidak ada anggaran untuk memasak, akan tetapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk membuat masakan yang enak untuk bapak dari biasanya."

Bung Karno pun tertawa "Ah sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa... ?"

Memasuki hari kedua disaat Bung Karno sedang merapikan baju-bajunya datang seorang perwira yang merupakan suruhan dari Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara nampak sudah memasuki seluruh ruangan dan menyebar sampai ke ruang makan.

Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan yang terhunus. Bung Karno pun tampak segera mencari koran bekas yang berada di pojok kamar, karena tampak dalam pikiran Bung Karno yang dia takutkan ialah bendera pusaka yang akan diambil oleh tentara nantinya.

Lalu dengan cepatnya Bung Karno segera membungkus bendera pusaka tersebut dengan koran bekas, yang dia masukan ke dalam kaos oblong, Bung Karno pun sempat menatap ke arah tentara-tentara itu, namun ada beberapa perwira yang mendorong tubuhnya agar bisa segera keluar dari kamar.

Sesaat setelah itu Bung Karno melihat kearah wajah ajudannya Maulwi Saelan (Pengawal terakhir Bung Karno) dan Bung Karno pun melihat ke arah Saelan. "Aku Pergi Dulu", kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak", Saelan pun separuh berteriak kepada Bung Karno.

Bung Karno pun hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung pergi menuju mobil VW Kodok, yang merupakan satu-satunya mobil pribadi yang ia punyai dan segera meminta sopir untuk mengantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.

Salah satu Cerita kisah di saat terakhir Bung Karno setelah terusir dari Istana Negara sangat menyentuh hati yang ditulis oleh Peter Kasenda ini menceritakan bagaimana kekejaman yang diberikan kepada orang No. 1 di Indonesia pada kala itu, yakni Dr.Ir.H.Soekarno yang diperlakukan dengan tidak begitu terhomat dan terpuji. berikut akan kita ceritakan kisah nyata dari bung karno.

"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa yang namanya kekuasaan presiden sekalipun pasti ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan dari rakyat. Dan diatas segalanya merupakan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa." (Soekarno,1967).

Tidak lama setelah Mosi yang dibentuk oleh parlemen yang diketuai oleh Nasution pada tahun 1967 dan MPRS berhasil menunjuk Soeharto sebagai Presiden RI ke 2, lantas bung karno segera mendapatkan surat perintah yang dimana berisi harus segera meninggalkan Istana Negara dalam waktu 2 x 24 Jam.

Keseharian Bung Karno, setelah meninggalkan Istana ketika berada di rumah Fatmawati hanya duduk sendirian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kesehariannya pun hanya menguntingi daun-daun di halaman.

Kadang-kadang sesekali ia memegang dadanya yang sakit. Seperti diketahui Bung Karno mengalami Sakit Ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan kepadanya sudah tidak boleh diberikan, karena sisa obat nya di Istana dibuangi.

Suatu saat ketika Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri / Ni Luh Putu Sugianitri (Gadis Bali) untuk pergi berjalan-jalan. Saat itu melihat duku, Bung Karno pun kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku,..Tri, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang kala itu juga yang memiliki uang pas-pasan juga melihat dompetnya, ia pun merasa cukuplah buat dia beli duku untuk sekilo.

Lalu Nitri pun turun berjalan ke arah penjual duku dan berkata "Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu pun lantas berjalan dan mendekat ke arah mobil yang ditunjuk oleh Nitri. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih" Sahut tukang duku dengan logat betawi kental.

Bung Karno pun dengan hanya tersenyum senang dan berkata "Coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu pun tampak mengusap dahinya, karena ia merasa kenal dengan suara yang berada di dalam mobil. Lantas tukang duku tersebut berteriak "Bapak...Bapak..Bapak...Itu Bapak...Bapak..." Tukang duku pun malah berlarian ke arah teman-temannya yang kebetulan berada di pinggir jalan. "Ada Pak Karno, Ada Pak Karno..." mereka pun semua lantas berlarian ke arah mobil VW Kodok yang berwarna putih itu dan serta merta para tukang buah tersebut memberikan buah-buah kepada Bung Karno.

Awalnya Bung Karno bisa tertawa senang, karena ia merasa sudah terbiasa dengan rakyat-rakyatnya itu. namun keadaan berubah total seketika itu ketika Bung Karno takut rakyat yang tidak tau apa-apa nantinya bisa digelandang oleh tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri. berangkat... cepat", perintah Bung Karno dan ia pun melambaikan tangannya ke arah rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang juga menitikan air mata. Mereka sadar dan tahu bahwa pemimpinnya sedang dalam keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno sering bepergian keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira yang pro terhadap Soeharto tidak suka. Tiba-tiba saja satu malam kemudian datanglah satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka langsung membawa Bung Karno untuk dipindahkan ke Bogor. Ternyata selama di Bogor diketahui yang merawat Bung Karno adalah Dokter Hewan.

Rachmawati Putri Bung Karno yang paling nekat

Tidak berselang lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah putri dari Bung Karno Rachmawati, dia melihat ayahnya di sana dan menangis keras-keras saat tahu wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri.

Saat melihat Rachmawati, Bung Karno pun langsung berdiri lalu kemudian terhuyung dan jatuh. ia merangkak untuk memegang kursi. Rachmawati langsung berteriak menangis melihat kondisi ayahnya sampai begitu.

Malam itu langsung nya Rachmawati meminta kepada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga di sana. "Coba aku tulis sebuah surat permohonan kepada Presiden", kata Bung Karno dengan suara terbata-bata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat yang meminta dia bisa dipindahkan ke Jakarta untuk bisa dirawat dan bisa dekat dengan anak-anaknya.

Rachmawati merupakan salah satu anak Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah dia mengambil surat dari Bapaknya, Rachma langsung bergegas menuju ke rumah Soeharto yang berada di Cendana. di Cendana dia langsung menemui Bu Tien (Istri Soeharto) yang kaget ketika melihat Rachma berada di teras rumahnya.

"Lho, Mbak Rachma ada apa ?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien langsung memeluk Rachma, setelah itu Rachma langsung menceritakan semua tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien pun langsung tersentuh dan memegang tangan Rachma lalu bu Tien pun mengantarkan nya keruangan kerja Pak Harto.

Pak Harto pun kaget, "Lho,Mbak Rachma .. ada apa ? kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun tanpa panjang lebar langsung menceritakan semuanya mengenai kondisi Bapaknya yang dinilai sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto sejenak berpikir dan langsung kemudian menuliskan sebuah memo yang dimana memerintahkan anak buahnya itu segera membawa Bung Karno balik ke Jakarta, namun diputuskan Bung Karno akan dirawat nantinya di Wisma Yaso.

Info Blog, pengasingan Bung Karno

Saat itu memang setelah Pak Harto mengeluarkan memo, anak buahnya langsung menjemput Bung Karno untuk ditempatkan di Wisma Yaso di Jakarta. Namun ternyata kali ini perlakuan dari Tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan untuk keluar dari kamarnya. Sering kali ia mendapatkan bentakan apabila akan melakukan sesuatu, suatu ketika saat Bung Karno tanpa sengaja melihat ada lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu pun langsung direbut dan ia harus dimarahi.

Prof. Dr. Mahar Mardjono

Kamar dari Bung Karno pun tampak sangat tidak manusiawi kalau bisa dibilang, tampak sangat berantakan, kotor, bau dan jorok. Memang ada yang merapikan tapi apa adanya saja. Dokter yang diperintahkan untuk merawat Bung Karno waktu itu adalah Dokter Mahar Mardjono sangat bersedih ketika melihat Bung Karno harus menderita dan juga tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.

"Prof. Dr. Mahar Mardjono merupakan mantan ketua tim dokter kepresidenan Republik Indonesia pada masa Presiden Soekarno dan Soeharto (1966-1976), dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia."

Ia tahu bahwa obat-obatan yang berada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah dari seorang Perwira Tinggi. Mahar Mardjono hanya bisa membantu memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Apabila Bung Karno susah tidur kami akan memberikan Valium, Sukarno pun sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat dari ginjalnya yang sudah tidak berfungsi.

Banyak Rumor yang beredar di masyarakat bahwa semasa Bung Karno hidup di dalam Wisma Yaso sangat begitu sengsara, beberapa orang dikabarkan nekat untuk melakukan pembebasan terhadap Bung Karno, bahkan ada kabar yang memberitakan bahwa satu pasukan khusus KKO (Marinir) dikabarkan sempat menembus penjagaan dari Bung Karno dan berhasil menembus masuk ke dalam kamar dari Bung Karno, akan tetapi Bung Karno menolak untuk ikut dikarenakan takut akan memancing terjadinya peperangan saudara.

Memasuki awal Tahun 1970 Bung Karno pun harus datang ke rumah Fatmawati karena putrinya akan melangsungkan pernikahan yakni Rachmawati. Bung Karno dengan kondisi yang sangat begitu parah, jalan saja susah tetap datang ke rumah istrinya itu. Wajah Bung Karno pun tampak bengkak-bengkak (karena tidak di izinkan cuci darah serta obata-obatan yang tidak lengkap tersedia di Wisma Yaso).

Ketika Rakyat tahu bahwa Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang yang tampak langsung berbondong-bondong untuk menjumpai Presiden No 1 Indonesia itu, sesampainya mereka di depan rumah banyak yang berteriak dan memberikan semangat kepada Bung Karno sambil berteriak "Hidup Bung Karno... hidup Bung Karno... Hidup Bung Karno...!!!

Sukarno yang sudah terbiasa dekat dengan rakyatnya itu langsung reflek tertawa dan mencoba melambaikan tangannya ke arah rakyatnya, namun dengan kasar tentara menurunkan tangan dari Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno pun harus paham karena dia ditetapkan sebagai tahanan politik.

Info Blog, Bung Karno, hari-hari terakhir

Masuk di bulan Februari ternyata penyakit Bung Karno semakin parah hingga ia tidak sanggup untuk berdiri, hanya bisa tidur saja. Tidak ada yang boleh masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita yang mengalami penyakit ginjal memang akan diikuti oleh kondisi psikis yang kacau.

Ia berteriak "Sakit...Sakit ya Allah... Sakit..." tapi tentara yang menjaganya di sana hanya bisa diam saja karena mereka diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang hanya bisa menangis di depan pintu kamar mendengar kesakitan yang diderita oleh Bung Karno. Kepentingan politik ternyata bisa membendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu yang bisa dilakukan waktu itu.

Mohammad Hatta

Hatta yang mendapatkan laporan mengenai kesehatan Bung Karno semakin buruk di Wisma Yaso, lantas menulis sebuah surat untuk diberikan kepada Suharto dan mengecam cara merawat yang dilakukannya kepada Sukarno. Di rumahnya Hatta hanya bisa duduk di teras sambil menangis, ia teringat akan sahabatnya itu. Lalu dia menceritakan kepada Istrinya Rachmi untuk bisa bertemu dengan Bung Karno.

"Kakak tidak mungkin bisa ke sana, Bung Karno kan sudah menjadi tahanan politik" ujar istri Bung Hatta.

Hatta pun menoleh kepada istrinya dan berkata "Sukarno merupakan orang yang terpenting didalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah bersama-sama dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini bisa merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tidak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini".

Hatta secara tegas pun langsung membuatkan surat dengan nada yang tegas untuk diberikan kepada Soeharto agar bisa bertemu dengan Sukarno, ajaibnya ternyata surat itu langsung disetujui dan dia diperbolehkan untuk menjenguk Bung Karno. Hatta pun langsung datang ke Wisma Yaso sendirian, ketika masuk ke dalam kamar dia melihat kondisi Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan rasa sakit ginjal. Bung Karno pun membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana Kabarmu, No", kata Hatta sambil air matanya menetes melihat kondisi sahabatnya itu.

Bung Karno pun berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta, "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta jatuh mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno ikut menangis seperti anak kecil.

Dua Proklamator bangsa Indonesia ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi bisu dua orang yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, di akhir hidupnya harus menerima kenyataan pahit, merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang sangat menyiksa dada kita.

Saat-saat Terakhir Bung Karno

Tidak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno pun meninggal pada tanggal 21 Juni 1970, sama pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, Bung Karno menunggu Hatta di kamar untuk segera membaca Proklamasi, di saat kematiannya pun ternyata Bung Karno seolah menunggu Hatta terlebih dahulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Info Blog, Semangat Sukarno

Sumber :
http://www.majalahberita855.com/2015/07/cerita-kisah-nyata-disaat-terakhir-bung-karno-setelah-terusir-dari-istana-negara.html
Enter your email address to get update from Info Blog.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

1 komentar:

Terimakasih sudah berbagi artikel kita :)

Balas

Silahkan meninggalkan komentar yang sesuai dengan artikel di atas, komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog ini di masa-masa mendatang.
Mohon jangan melakukan spam, atau promosi produk atau apapun yang tergolong hal-hal negatif
Mohon maaf bilamana terjadi keterlambatan balasan komentar.

Copyright © 2015. Info Blog 97 - All Rights Reserved | Template Created by Info Blog Proudly powered by Blogger